Awal pertemuan saya dengan Desa Sidorejo ini terjadi saat saya harus datang survei sekaligus mengurus surat untuk melakukan KKN disini. Terhitung sudah dua kali saya datang kesini untuk melakukan hal itu. Pada saat itu yang ada di benak saya adalah “sepertinya tempat ini masih tergolong pedesaan yang sudah bagus, modern, dan terfasilitasi”. Hal ini dikarenakan saya baru sampai ke kelurahannya saja. Tetapi, saat datang untuk ketiga kalinya dalam melaksanakan kegiatan KKN pemikiran saya menjadi berubah seperti kertas kering yang terbakar menjadi abu, wesseeeehhh.
Jalan Kecil yang Banyak dan Terlihat Sama Setiap Tikungannya
Yang saya lihat ketika survei adalah jalan aspal di sekitar kantor Kelurahan Sidorejo saja. Saat itu saya belum sampai naik ke pedukuhan-pedukuhan yang ada di area dataran tinggi (perempatan karang ke utara). Jalan aspal yang tidak semuanya mulus itu berhenti di jalan percabangannya. Seperti jalan yang mengarah ke Kedung Ingas, ke pedukuhan Jurug (tempat tinggal sementara KKN kami), dan ke pedukuhan yang ada di Sidorejo lainnya.
Pertama kali saya menjelajah, melewati jalan-jalan kecil tersebut adalah ketika kami menuju ke rumah Dukuh Jurug. Saya mengendarai motor sendiri bersama dengan teman di motor yang lain. Saya benar-benar tidak bisa memperhatikan kapan saya harus berbelok dari jalan utama (Jalan Lendah Utara) untuk sampai ke rumah pak Dukuh. Bagi saya setiap belokan di jalan aspal tersebut sama saja. Saya baru bisa membedakan setelah saya benar-benar menemukan ciri khas yang paling unik dari tikungan tersebut.
Tidak hanya sampai situ, tikungan yang ada di jalan kecil saat masuk ke daerah dataran tinggi Sidorejo juga benar-benar sulit dibedakan. Dan ternyata bukan hanya tikungannya saja yang sulit dibedakan, tetapi juga sepajang jalannyapun sulit dibedakan. Sepanjang jalan yang saya lihat adalah jalan putih cor–coran dan pohon jati atau kelapa. Saat saya harus membeli logistik di pasar atau toko kelontong, saya merasa sudah berada di jalan lain yang sebenarnya jauh dari jalan yang saya lewati saat itu. Pada tiga hari pertama saya berada di sini, setiap ingin keluar mencari warung atau ke pasar saya selalu tersesat walaupun sudah beberapa kali melewati jalan yang sama.
Kedamaian yang Tidak Bisa dirasakan di Kota
Jalan kecil dan bercabang banyak itulah yang membuat jalan tersebut sepi. Kesepian jalan dan pepohonan yang rimbun nan rapat membuat setiap angin menyapu dedaunan menghasilkan kedamaian yang sulit seklai didapatkan di kota. Di kota, yang kita dengarkan hanya suara knalpot kendaraan, yang kita hirup adalah polusi udara, yang kita lihat adalah kesemrawutan, dan yang kita rasakan adalah tekanan dan rasa khawatir . Sedangkan disini kita bisa mendapatkan kedamaian hanya dari jalan yang sepi, pepohonan rimbun nan rapat, dan angin di depan ataupun belakang rumah kita sendiri.
Kedamaian Lain di Area Persawahan
Saat matahari mulai bersahabat di arah barat saya melewati jalan yang samping kanan kiri jalan tersebut adalah area persawahan yang sangat luas. Warna kuning kejinggaan dari padi yang hampir panen terkena cahaya kuning keemasan dari matahari yang bersahabat terlihat seperti kilauan emas yang terhampar luas. Dan lagi-lagi angin yang berhembus membuat sempurna rasa damai dalam jiwa.
Menjadi warga desa ini sudah tidak perlu lagi yoga ataupun pilates yang orang kota sering lakukan itu sebagai sarana meditasi mereka. Meditasi warga desa terutama Sidorejo adalah rolasan setelah menggarap. Rolasan dengan melihat hamparan sawah luas yang mereka garap sendiri ataupun merasakan hembusan angin yang menyapu dedaunan pepohonan di jalan desa yang sepi adalah cara mereka bermeditasi.
Keaktifan Kelompok Masyarakat
Saat survei lokasi, sebenarnya saya sudah diberitahu oleh Kamituwo desa. Bahwasannya hampir semua kelompok masyarakat yang ada di desa ini cukup aktif. Mereka memiliki agenda rutin yang sudah berjalan selama bertahun-tahun. Dari KWT (Kelompok Wanita Tani), UKKT (Unit Kerja Karang Taruna), Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani), ibu-ibu PKK, Pengurus Desa Wisata, Desa Budaya, Desa Prima, dan Kelompok Masyarakat lainnya. Awalnya saya mengira aktif hanya aktif saja, melakukan kegiatan rutinan, dan tidak ada yang lain. Tetapi ternyata mereka juga aktif melaksanakan event-event. Sehingga pada suatu waktu mereka akan sangat sibuk untuk menyiapkan event itu.
Awalnya saya agak keteteran dengan banyaknya kelompok masyarakat yang banyak dan hampir semuanya aktif. Kami berniat mengikuti setiap kegiatan kelompok-kelompok itu dan juga membantu jika mereka ingin mengadakan event. Seperti acara ulang tahun UKKT, lomba desa wisata, lomba KWT, lomba desa prima dan merti dusun. Walaupun keteteran tetapi saya senang mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut. Pasalnya kegiatan-kegiatan mereka sangat positif. Dan saya kira, jika mereka bisa konsisten menjalankan kegiatan itu atau malah bisa meningkatkan kualitas kegiatannya bukan tidak mungkin, cepat atau lambat desa ini bisa menjadi desa seperti yang mereka inginkan.
Banyak yang saya rasakan di desa ini pada seminggu pertama ini. pada akhirnya pandangan pertama saya pada desa ini cukup berkesan, sangat berkesan malah. Ditambah teman-teman KKN saya yang selalu support satu sama lain membuat saya tambah kerasan berada di sini.
Penulis: Ghani Annakhel